Lonjakan Harga Minyak Ancam Pasar Saham, Tapi Investor Masih Optimis

Harga minyak Brent mencapai $81 per barel di tengah konflik Israel-Hamas. Meski harga minyak melonjak, pasar saham tetap menunjukkan ketahanan. Akankah tren ini berlanjut?

article author image

KikiOct 15, 2024

article cover image

Harga minyak dunia terus merangkak naik di tengah ketegangan yang semakin memanas di Timur Tengah, terutama setelah konflik antara Israel dan Hamas menunjukkan potensi meluasnya dampak ke pasar global. Senin kemarin, harga minyak mentah Brent melonjak hampir 4%, menyentuh $81 per barel tingkat tertinggi sejak Agustus 2024.

Kenaikan ini dipicu oleh kekhawatiran bahwa perang tersebut dapat memicu gangguan pasokan minyak global, terutama dengan adanya ketegangan antara Israel dan Iran. Sementara itu, Presiden Joe Biden dilaporkan berupaya mencegah Israel menyerang aset minyak Iran, yang dapat memperparah situasi.

Gejolak harga minyak ini memunculkan pertanyaan: apakah reli panjang pasar saham dapat tergelincir? Kenaikan harga minyak biasanya menjadi ancaman bagi pasar saham karena dapat membebani belanja konsumen dan sering kali terkait dengan ketegangan geopolitik yang lebih luas.

Namun, pasar saham sejauh ini menunjukkan ketahanan yang mengesankan, dengan Dow Jones Industrial Average menutup minggu lalu di rekor tertinggi dan S&P 500 nyaris mencapai rekor sendiri sebelum sedikit turun 1% pada awal minggu ini.

Ketahanan Pasar di Tengah Risiko Geopolitik

Salah satu faktor yang mendukung ketahanan pasar saham adalah pandangan bahwa risiko geopolitik saat ini belum cukup besar untuk mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Dalam sebuah catatan yang dirilis pada Senin, analis Deutsche Bank menjelaskan bahwa meskipun ada peningkatan ketegangan di Timur Tengah, gangguan terhadap pasokan minyak global dan rantai pasokan belum cukup besar untuk secara signifikan memengaruhi perekonomian utama dunia.

Bahkan dengan lonjakan harga minyak, sejumlah indikator ekonomi utama menunjukkan perbaikan. Laporan pekerjaan AS yang sangat positif pekan lalu dan langkah-langkah stimulus ekonomi yang dilakukan oleh China telah memperkuat pandangan positif terhadap pertumbuhan ekonomi global.

Harga minyak mungkin telah naik tajam, tetapi masih berada di bawah rata-rata tahun 2024. Sejak meningkat 10% dalam lima hari terakhir, harga Brent pada $81 per barel belum cukup untuk memicu lonjakan inflasi yang signifikan.

Menurut analis Bank of America, kenaikan harga minyak sebesar 10% hanya akan menambah kurang dari sepersepuluh persen terhadap inflasi inti. Mereka memperkirakan harga minyak harus melampaui $100 per barel untuk benar-benar mulai berdampak pada inflasi secara keseluruhan.

Untuk saat ini, harga minyak masih jauh dari puncaknya pada pertengahan 2022, ketika sanksi terhadap Rusia membatasi salah satu produsen minyak terbesar dunia.

Dampak Terbatas terhadap Inflasi dan Konsumen

Meskipun kenaikan harga minyak sering kali mendorong ekspektasi inflasi, laporan dari Bank of America menunjukkan bahwa kenaikan harga gas yang diakibatkan oleh lonjakan minyak mentah masih jauh dari level yang bisa mengguncang kepercayaan konsumen.

Harga gas di Amerika Serikat, yang memainkan peran besar dalam menetapkan ekspektasi inflasi, harus hampir dua kali lipat dari level saat ini untuk mempengaruhi ekspektasi inflasi konsumen, yang telah membaik selama empat bulan berturut-turut pada September.

Untuk saat ini, pasar tampaknya masih bisa bernapas lega. Tekanan inflasi dari sektor energi belum terlalu terasa, dan selama harga minyak tidak melonjak di atas $100 per barel, dampak terhadap ekonomi global diperkirakan akan tetap terbatas.

Analis juga mencatat bahwa harga minyak yang tinggi biasanya akan diimbangi oleh respons dari negara-negara penghasil minyak, seperti peningkatan produksi oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).

Prediksi Harga Minyak Stabil atau Meningkat?

Namun, para analis tetap waspada. Goldman Sachs, dalam laporannya, memperkirakan bahwa harga minyak akan tetap dalam rentang $70 hingga $85 per barel selama kuartal keempat 2024, dengan harga rata-rata $77 per barel.

Gangguan besar terhadap pasokan minyak Iran, yang mungkin terjadi jika konflik di Timur Tengah semakin meluas, bisa mendorong harga ke kisaran pertengahan $90-an. Namun, bahkan dalam skenario tersebut, OPEC kemungkinan besar akan meningkatkan produksi untuk mengimbangi kekurangan, sehingga harga tidak akan melonjak terlalu tajam.

Dalam skenario terburuk, jika pasokan minyak Iran terganggu secara signifikan, pasar minyak global mungkin akan terpengaruh, tapi dengan mitigasi dari OPEC, dampaknya terhadap ekonomi dunia bisa dibatasi. Meski demikian, skenario geopolitik selalu sulit diprediksi, dan gangguan mendadak bisa mengubah dinamika pasar dengan cepat.

Ancaman Minyak Belum Menghantui Pasar Saham

Saat ini, meskipun harga minyak meroket akibat ketegangan geopolitik, pasar saham tetap berada dalam posisi yang cukup stabil. Investor tampaknya masih optimis bahwa kenaikan harga minyak ini bersifat sementara dan tidak akan cukup untuk menggagalkan pertumbuhan ekonomi global yang sedang berlangsung.

Selama tidak ada eskalasi besar dalam konflik di Timur Tengah yang mengganggu pasokan minyak secara masif, pasar saham tampaknya akan terus melanjutkan tren positifnya.

Namun, investor tetap perlu waspada. Jika harga minyak terus merangkak naik hingga melewati batas psikologis $100 per barel, dampak inflasi bisa lebih terasa, terutama di sektor-sektor yang sensitif terhadap harga energi.

Untuk sekarang, pasar masih bisa mengatasi ketidakpastian ini, tetapi perkembangan di Timur Tengah akan tetap menjadi faktor penting yang harus diwaspadai.

Nanovest News v3.18.0