Saham AS Terpukul Tarif Mobil Trump, Wall Street Gelisah di Tengah Awan Perang Dagang
S&P 500, Nasdaq, hingga megacaps melemah setelah tarif Trump memicu ketidakpastian pasar. Bagaimana potensi dampaknya terhadap inflasi, suku bunga, dan target indeks 2025?

Kiki • Mar 27, 2025

Pasar saham Amerika Serikat kembali terguncang. Setelah tiga hari perdagangan relatif tenang, Wall Street dibekap kegelisahan baru akibat kebijakan tarif otomotif Presiden Donald Trump.
Perdagangan sesi Rabu malam berubah suram ketika Trump resmi menandatangani perintah tarif 25% atas impor mobil membuka babak baru dalam perang dagang global yang sudah lama membara.
Tarif ini, yang disebut-sebut sebagai “serangan balasan perdagangan” atau reciprocal tariffs, bukan hanya membuat saham-saham raksasa berguguran, tapi juga menghidupkan kembali kekhawatiran inflasi, volatilitas pasar, dan ketidakpastian kebijakan yang sangat dibenci investor.
Analisis senada datang dari Daniel Skelly di Morgan Stanley, yang menyebut bahwa tarif bisa menjadi awal dari babak negosiasi panjang, bukan akhir dari konflik. Artinya, volatilitas kemungkinan masih akan terus menghantui.
Aksi Jual Besar SPY Anjlok, Megacaps Berdarah
Exchange-traded fund (ETF) SPY, yang melacak indeks S&P 500, turun tajam setelah jam perdagangan utama, menandai pergeseran sentimen investor dari optimisme ke kehati-hatian ekstrem.
Saham General Motors dan Ford langsung jatuh, karena sektor otomotif menjadi sasaran utama dari tarif tersebut.
Tak hanya sektor otomotif, kelompok saham teknologi besar “Magnificent Seven” ikut terseret. Nvidia dan Tesla turun lebih dari 5,5%, sementara Microsoft dikabarkan menghentikan proyek pembangunan data center di AS dan Eropa, menurut laporan TD Cowen.
Indeks Nasdaq 100 anjlok 1,8%, dan S&P 500 terkoreksi 1,1%, gagal mempertahankan level rata-rata pergerakan 200 harinya level psikologis penting bagi investor institusi.
Indeks Dow Jones juga terkikis 0,3%, sementara Russell 2000 indikator saham-saham kecil turun 1%. Bloomberg Megacap Index mencatat penurunan 3%, menandakan tekanan luas di seluruh sektor.
Strategi Politik, Inflasi, dan Ambiguitas
Trump menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan “mengembalikan pekerjaan manufaktur ke AS”, namun pasar tidak membelinya mentah-mentah. Presiden The Fed St. Louis, Alberto Musalem, memperingatkan bahwa dampak inflasi dari tarif baru ini bisa lebih dari sekadar sementara, dan bisa membuat The Fed menahan suku bunga tinggi lebih lama dari perkiraan.
“Ketidakpastian soal tarif ini sangat tinggi,” ujar Michael Brown, analis Pepperstone. “Sulit bagi pelaku pasar untuk menghitung risiko ketika aturan bisa berubah setiap jam.”
Dolar Menguat, Obligasi Menekan
Di pasar obligasi, imbal hasil Treasury 10-tahun naik 3 basis poin menjadi 4,35%, mengindikasikan ekspektasi inflasi dan pengetatan likuiditas. Indeks dolar AS menguat 0,3%, seiring aliran dana keluar dari ekuitas menuju aset yang lebih aman.
Matthew Weller dari Forex.com menambahkan bahwa potensi reli jangka pendek di aset berisiko dan dolar mungkin akan muncul pasca pengumuman tarif 2 April nanti, namun ia juga menekankan bahwa reli itu bisa sangat singkat jika sinyal negosiasi belum terlihat jelas.
Target Pasar Dipangkas, Likuiditas Mengering
Barclays menurunkan target S&P 500 untuk akhir 2025 dari 6.600 menjadi 5.900, mencerminkan kekhawatiran akan perlambatan ekonomi global dan tekanan inflasi. Strategis Barclays, Venu Krishna, mencatat bahwa dampak perang dagang bisa melemahkan permintaan global dan merusak profitabilitas perusahaan besar AS.
Tak hanya itu, likuiditas di kontrak indeks S&P 500 kini berada di titik terendah dalam dua tahun, menurut Deutsche Bank. Ini memperbesar risiko pergerakan harga ekstrem dalam waktu singkat mimpi buruk bagi manajer portofolio besar.
Pasar di Persimpangan Tajam
Investor kini menghadapi dua jalur: satu menuju negosiasi dan stabilitas, satu lagi menuju eskalasi dan kekacauan. Dengan data ekonomi yang masih rapuh dan tekanan politik domestik yang tak menentu, sulit membayangkan pasar pulih secara linear.
“Pasar membenci ketidakpastian. Tapi lebih dari itu, mereka takut pada kebijakan yang bisa berubah sewaktu-waktu,” tulis Dan Wantrobski dari Janney Montgomery Scott.
Kehati-hatian menjadi tema utama kuartal ini. Investor global bersiap menghadapi periode yang mungkin akan menjadi salah satu yang paling penuh gejolak sejak 2020 bukan karena pandemi, tapi karena perang dagang yang kembali menyala.