Trump Kenakan Tarif 245% untuk China, Perang Dagang AS-China Memanas
AS resmi kenakan tarif hingga 245% pada produk China. Langkah agresif ini picu kekhawatiran global, memicu balasan Beijing, dan ancam rantai pasok teknologi. Simak analisis lengkapnya.

Kiki • Apr 17, 2025

Di tengah atmosfer global yang makin panas, Amerika Serikat kembali memperuncing tensi dagang dengan China. Kali ini, Washington tak lagi bermain setengah hati. Lewat sebuah pernyataan resmi, Gedung Putih menyatakan bahwa beberapa produk impor asal China kini menghadapi tarif gabungan hingga 245 persen angka yang, bagi pelaku pasar dan pelaku usaha, terdengar seperti lonceng peringatan akan eskalasi yang serius.
Kebijakan ini diumumkan menyusul penandatanganan perintah eksekutif oleh Presiden Donald Trump untuk membuka investigasi terhadap risiko keamanan nasional yang timbul dari ketergantungan AS terhadap mineral kritis dan turunannya yang diimpor banyak di antaranya dari China.
Apa Sebenarnya Tarif 245% Itu?
Tarif ini bukan satu jenis pajak tunggal, melainkan kombinasi dari tiga kebijakan berbeda:
Tarif timbal balik (reciprocal tariff)** sebesar 125%,
Tarif fentanyl** sebesar 20%,
Tarif Section 301** yang bisa mencapai 100%, diberlakukan sejak era pemerintahan Biden, terutama terhadap produk seperti kendaraan listrik (EV).
Artinya, EV buatan China yang sebelumnya sudah terkena tarif tinggi kini harus menghadapi tarif total setinggi 245% jika masuk ke pasar AS. Bagi banyak eksportir China, hal ini bisa berarti matinya akses ke salah satu pasar konsumen terbesar di dunia.
“Tarif ini adalah respons atas tindakan balasan China,” kata seorang pejabat Gedung Putih kepada Newsweek. “Kami ingin memastikan bahwa rantai pasok kritis kita tidak lagi tergantung pada negara-negara yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional Amerika.”
Dampak Global Efek Domino ke Pasar dan Konsumen
Seperti batu yang dilempar ke kolam yang tenang, langkah ini segera menimbulkan gelombang bukan hanya di AS dan China, tetapi juga di pasar global. Kenaikan tarif berarti meningkatnya biaya produksi bagi perusahaan-perusahaan AS yang selama ini bergantung pada suku cadang dan bahan baku dari China.
Bagi konsumen, efeknya sangat nyata: harga produk elektronik, kendaraan listrik, hingga peralatan rumah tangga berpotensi melonjak. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan AS harus mencari sumber pasokan baru, sering kali dengan harga lebih mahal atau kualitas yang belum teruji.
Pasar pun bereaksi dengan kegelisahan. Bursa saham di Asia dan Eropa mulai menunjukkan volatilitas yang mencolok. Komoditas seperti logam tanah jarang (rare earths) yang digunakan dalam teknologi tinggi, pertahanan, dan aerospace mendadak jadi rebutan setelah China memperketat kontrol ekspornya sebagai bentuk balasan.
Reaksi Beijing dan Manuver Diplomatik
China, lewat juru bicara Kementerian Luar Negeri Lin Jian, menegaskan bahwa kebijakan tarif Washington adalah bentuk agresi ekonomi. "Perang tarif ini dimulai oleh AS," tegas Lin. "Tindakan balasan kami adalah sah dan legal, demi melindungi hak dan kepentingan kami."
Tak tinggal diam, Beijing menunjuk Li Chenggang sebagai negosiator perdagangan yang baru seorang diplomat kawakan yang pernah mewakili China di WTO dan dikenal mendukung perdagangan bebas.
Penunjukan ini dinilai sebagai sinyal bahwa China ingin lebih aktif dalam diplomasi dagang, namun tidak akan mengalah dalam tekanan.
“Tak Ada yang Bebas dari Kewajiban”
Presiden Trump, melalui platform Truth Social, mempertegas posisinya: "Tidak ada yang bisa lolos dari ketidakseimbangan perdagangan dan hambatan non-tarif terhadap kami, terutama China."
Trump juga menyinggung rencana pengenaan tarif tambahan terhadap rantai pasok elektronik global, termasuk semikonduktor bagian vital dari hampir semua perangkat modern. Ini menunjukkan bahwa langkah AS tak berhenti di tarif produk akhir, tetapi menjalar ke hulu rantai pasok global.
Apa Selanjutnya?
Meski retorika kedua belah pihak mengeras, baik AS maupun China masih menyatakan keterbukaan untuk berdialog. Namun, dengan tekanan yang terus meningkat, skenario saling balas tampaknya akan berlanjut.
Trump juga sedang menjajaki perjanjian dagang baru dengan setidaknya 15 negara lain, dan disebut-sebut akan menawarkan kesepakatan yang lebih menguntungkan asal negara-negara tersebut menjauh dari kerja sama dagang dengan China.
Ini berpotensi membelah peta dagang dunia ke dalam dua blok besar: pro-AS dan pro-China.
Perang Dagang Bukan Sekadar Perang Ekonomi
Tarif 245% bukan hanya soal angka. Ia adalah simbol dari pergeseran besar dalam strategi perdagangan global. AS ingin membangun kembali kemandirian industrinya, sementara China harus memutar strategi agar tetap relevan di panggung ekspor global.
Dalam pusaran ini, investor, produsen, dan konsumen di seluruh dunia menjadi bagian dari permainan tarik tambang dua kekuatan besar.