UAE Resmikan Sistem Legislasi AI Pertama di Dunia, Hukum Kini Buatan Mesin
Uni Emirat Arab mulai gunakan AI untuk menyusun dan mengevaluasi hukum nasional. Sistem baru ini diklaim bisa percepat legislasi hingga 70% dan ubah wajah pemerintahan global.

Kiki • Apr 30, 2025

Di saat negara-negara lain masih memperdebatkan etika penggunaan kecerdasan buatan, Uni Emirat Arab (UAE) justru melompat jauh ke masa depan. Pada 14 April 2025, pemerintahnya resmi meluncurkan sistem legislasi pertama di dunia yang sepenuhnya ditopang oleh Artificial Intelligence (AI) sebuah langkah berani yang dapat mengubah wajah hukum dan pemerintahan global untuk selamanya.
Melalui proyek yang disebut sebagai “Smart Legislative System”, pemerintah UAE akan memberdayakan agen sintetis untuk menyusun, merevisi, dan mengevaluasi dampak hukum melalui analisis big data. Ini bukan simulasi atau sekadar chatbot konsultasi hukum ini adalah AI yang akan secara langsung berperan dalam proses pembuatan undang-undang.
Sheikh Mohammed “Revolusi Kualitas Legislasi Nasional”
Dalam pernyataan resminya, Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, Perdana Menteri UAE sekaligus arsitek kebijakan inovatif ini, menyebut bahwa sistem ini akan membawa perubahan mendalam.
“Sistem legislasi berbasis AI akan menciptakan lompatan kualitas dalam siklus hukum nasional meningkatkan kecepatan, akurasi, dan menjadikan hukum kami sesuai dengan praktik terbaik global,” ujarnya.
Sistem ini diharapkan dapat mempercepat proses legislasi hingga 70%, memperbaiki akurasi substansi hukum, serta menjamin kesesuaian peraturan dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan teknologi.
Bagaimana Sistem Ini Bekerja? AI, Peta Yuridiksi, dan Big Data
Meski belum dirinci secara teknis, struktur utama sistem ini melibatkan tiga pilar:
Pemetaan Hukum & Yuridiksi:** Semua putusan hukum akan dipetakan dan dihubungkan dengan yurisdiksi masing-masing. AI akan mempelajari relasi ini untuk memahami dampak nyata dari tiap peraturan.
Pemantauan Efek Regulasi:** Dengan akses terhadap big data, sistem akan menganalisis secara kuantitatif bagaimana sebuah peraturan memengaruhi masyarakat dan sektor tertentu dari pasar tenaga kerja hingga pelanggaran hukum.
Rekomendasi & Revisi Otomatis:** Berdasarkan evaluasi berkelanjutan, AI dapat mengusulkan amandemen atau bahkan rancangan undang-undang baru yang lebih tepat guna, tanpa menunggu siklus politik yang panjang.
Peran Baru AI Dari Editor Hingga Legislator
Uniknya, sistem ini juga menciptakan jabatan-jabatan baru berbasis AI dalam birokrasi hukum, termasuk:
AI Legislative Researcher:** Menggali data historis dan studi kebijakan dari seluruh dunia.
AI Legislative Editor:** Mengharmonisasi bahasa hukum dan memastikan koherensi antarpasal.
AI Monitor:** Mengawasi implementasi regulasi dan menyajikan laporan efektivitas.
UAE tampaknya tidak hanya menambahkan teknologi ke sistem yang sudah ada, tetapi mendesain ulang dari fondasinya sesuatu yang masih dianggap terlalu radikal oleh sebagian besar negara demokratis.
Teka-Teki Besar Di Balik Ambisi, Transparansi Masih Minim
Namun, meskipun sistem ini digembar-gemborkan sebagai lompatan masa depan, pemerintah UAE belum mengungkapkan jenis model AI yang digunakan, vendor pengembangnya, atau standar etika yang diadopsi.
Ini memunculkan pertanyaan besar tentang keamanan data, potensi bias dalam penyusunan hukum, dan sejauh mana kontrol manusia tetap dijaga.
Beberapa pengamat menyuarakan kekhawatiran bahwa AI yang dilibatkan dalam hukum tanpa pengawasan publik bisa membuka celah otoritarianisme digital, terutama di negara dengan sistem politik yang lebih tersentralisasi.
Konteks Global Siapa Menyusul Selanjutnya?
Langkah UAE menjadi sorotan dunia. Dalam laporan World Economic Forum 2025, transformasi digital hukum adalah salah satu agenda utama global, namun belum ada negara lain yang berani mengambil langkah ekstrem seperti ini.
Uni Eropa** masih berkutat dengan standar etika AI di sektor publik.
Amerika Serikat** mendorong pilot project AI untuk memverifikasi kontrak dan hukum pajak, tapi masih dalam fase percobaan terbatas.
Cina** menggunakan AI untuk pengawasan yudisial, namun belum sampai pada pembuatan hukum formal.
Dengan demikian, UAE tidak hanya menjadi pionir tetapi juga eksperimen global pertama dalam menyerahkan sebagian kendali hukum kepada mesin.
Menuju Era Hukum Sintetik?
Apakah ini langkah revolusioner yang akan membawa kecepatan dan presisi ke dalam sistem hukum, atau awal dari delegasi berbahaya kepada entitas non-manusia?
Apa pun jawabannya, satu hal jelas: hukum yang dibuat mesin kini bukan fiksi ilmiah lagi. Dunia tengah memasuki fase baru, dan semua mata kini tertuju ke Teluk Persia tempat AI mulai menyusun pasal demi pasal yang akan mengatur masa depan.