Harga Minyak Anjlok ke Level Terendah 3 Tahun

Harga minyak jatuh tajam ke level terendah sejak 2021 setelah OPEC memangkas proyeksi permintaan global dan kekhawatiran ekonomi China meningkat.

article author image

MohammadSep 11, 2024

article cover image

Harga minyak mentah global jatuh tajam pada Selasa (10/9/2024), dengan Brent Crude mencapai level terendah sejak Desember 2021, dipicu oleh revisi turun permintaan minyak oleh OPEC+ dan kekhawatiran tentang kelebihan pasokan.

Brent Crude turun sebesar 3,69% menjadi $69,19 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) turun lebih tajam 4,31% menjadi $65,75 per barel, terendah sejak Mei 2023.

Penurunan tajam ini terjadi meskipun ada ancaman pasokan akibat Badai Tropis Francine yang melanda Teluk Meksiko, memaksa penutupan sebagian besar produksi minyak lepas pantai AS. Namun, kekhawatiran pasar terhadap permintaan global yang melemah, terutama di negara-negara maju dan China, telah membayangi potensi gangguan pasokan tersebut.

OPEC+ Turunkan Proyeksi Permintaan Minyak

Dalam laporan bulanan terbarunya, OPEC+ merevisi turun proyeksi pertumbuhan permintaan minyak dunia untuk tahun 2024 menjadi 2,03 juta barel per hari (bpd), sedikit lebih rendah dari perkiraan bulan lalu sebesar 2,11 juta bpd.

OPEC juga memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan untuk 2025 menjadi 1,74 juta bpd dari sebelumnya 1,78 juta bpd. Koreksi ini mencerminkan pandangan OPEC bahwa pemulihan ekonomi global, terutama di negara maju, tidak sekuat yang diharapkan.

Secara terpisah, U.S. Energy Information Administration (EIA) memperkirakan bahwa permintaan minyak global akan mencapai rekor tertinggi tahun ini, rata-rata 103,1 juta bpd, sedikit lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya.

Namun, peningkatan permintaan ini tidak cukup untuk mendukung harga, terutama dengan adanya kekhawatiran perlambatan ekonomi di China dan negara-negara maju.

Data ekonomi dari China juga menambah tekanan pada harga minyak. Meskipun ekspor China tumbuh pada Agustus dengan kecepatan tercepat dalam 18 bulan, impor domestik justru mengecewakan, menunjukkan lemahnya permintaan dalam negeri.

Pasar juga terus mengamati dampak kebijakan stimulus fiskal di China yang gagal memberikan dorongan signifikan terhadap sektor konstruksi, yang berdampak langsung pada permintaan diesel di negara tersebut.

Sementara itu, di AS, badai tropis Francine memaksa penutupan sekitar 25% produksi minyak lepas pantai di Teluk Meksiko. Exxon Mobil, Shell, dan Chevron telah mengevakuasi pekerja dari platform lepas pantai mereka, namun gangguan ini tidak cukup untuk mengimbangi sentimen negatif pasar terkait permintaan minyak yang melemah.

Meskipun badai Francine membatasi produksi minyak AS, laporan American Petroleum Institute (API) menunjukkan bahwa stok minyak mentah AS turun sebesar 2,79 juta barel dalam pekan yang berakhir 6 September, sementara stok bensin turun 513.000 barel.

Sebaliknya, stok distilat naik 191.000 barel, mencerminkan penurunan permintaan diesel, yang sejalan dengan kondisi pasar global.

Namun, meskipun data API memberikan gambaran sementara, investor menantikan data resmi dari EIA yang dirilis pada Rabu (11/9/2024) untuk mengonfirmasi tren persediaan minyak di AS.

Laporan ini diharapkan memberikan wawasan lebih lanjut tentang keseimbangan antara pasokan dan permintaan di pasar minyak global.

Penurunan harga minyak ini juga berdampak negatif pada sektor energi di pasar saham. Saham perusahaan energi utama seperti Hess, Chevron, dan Occidental Petroleum mencatatkan penurunan tajam, dengan beberapa di antaranya mencapai posisi terendah dalam 52 minggu terakhir. Indeks S&P 500 sektor energi menjadi yang paling terpukul di perdagangan Selasa.

Kondisi ini mencerminkan ketidakpastian pasar yang semakin meningkat tentang arah ekonomi global. Para analis memperkirakan bahwa ketidakpastian ini bisa terus berlanjut hingga akhir tahun, terutama jika permintaan minyak di China dan negara-negara maju tidak menunjukkan pemulihan yang signifikan.

Nanovest News v3.18.0