Intel Lampaui Estimasi Q1, Saham Turun Usai Proyeksi Q2 Meleset
Intel catat EPS $0.13 dan pendapatan $12.7 miliar, namun proyeksi Q2 yang lemah picu penurunan saham 6%. CEO baru Lip-Bu Tan hadapi tekanan restrukturisasi.

Ajeng • Apr 25, 2025

Raksasa chip global Intel Corp. (NASDAQ: INTC) berhasil melampaui ekspektasi Analis untuk kuartal pertama 2025.
Namun, proyeksi pendapatan yang lebih rendah dari perkiraan untuk kuartal kedua memicu aksi jual investor, menyebabkan saham perusahaan anjlok lebih dari 6% dalam perdagangan after-hours.
Dalam laporan keuangan yang dirilis Kamis malam waktu AS, Intel mencatat laba per saham (EPS) yang disesuaikan sebesar $0.13 dari pendapatan sebesar $12.7 miliar, melampaui ekspektasi analis yang memproyeksikan hanya $0.01 EPS dan $12.3 miliar pendapatan, menurut konsensus Bloomberg.
Namun, Intel memperkirakan pendapatan kuartal kedua hanya akan berkisar antara $11.2 miliar hingga $12.4 miliar, jauh di bawah ekspektasi Wall Street yang berada di angka $12.8 miliar.
“Lingkungan makro saat ini menciptakan ketidakpastian tinggi di seluruh industri. Kami menerapkan pendekatan disiplin dan hati-hati untuk tetap berinvestasi di produk inti dan bisnis foundry kami, sambil memaksimalkan efisiensi biaya dan modal,” ujar CFO Intel, David Zinsner, dalam pernyataan resminya.
Segmen AI dan Data Center Catat Lonjakan
Dalam laporan tersebut, pendapatan dari segmen client computing mencapai $7.6 miliar, mengalahkan ekspektasi sebesar $6.9 miliar.
Sementara itu, pendapatan dari unit data center dan AI melonjak ke $4.1 miliar, jauh di atas proyeksi $2.9 miliar.
Pendapatan dari unit Intel Foundry juga sedikit melampaui ekspektasi, mencapai $4.6 miliar dibanding perkiraan $4.3 miliar.
Namun demikian, angka-angka positif ini belum cukup menahan tekanan market terhadap Intel, terutama setelah sahamnya telah anjlok 38% selama 12 bulan terakhir.
Dampak Perang Dagang dan Tantangan CEO Baru
Laporan ini merupakan yang pertama sejak Lip-Bu Tan resmi menjabat sebagai CEO bulan lalu. Di bawah kepemimpinannya, Intel menghadapi tantangan besar, termasuk potensi dampak dari perang dagang AS–China yang kembali memanas.
Meskipun sebagian besar chip Intel diproduksi di AS, produk seperti laptop yang dirakit di Tiongkok tetap rentan terhadap tarif baru yang telah disinyalkan oleh pemerintahan Trump.
Dalam penampilan publik perdananya di acara Intel Vision 2025, Tan mengakui bahwa Intel selama ini "tertinggal dalam inovasi" dan berjanji akan memperbaiki arah perusahaan.
“Kita terlalu lambat beradaptasi dan memenuhi kebutuhan pelanggan. Kalian layak mendapat yang lebih baik, dan kami akan memperbaikinya,” ujar Tan dalam pidatonya.
Wall Street kini menanti kepastian strategi Tan, terutama terkait masa depan unit third-party foundry milik Intel. Beberapa Analis bahkan menyarankan agar perusahaan keluar dari bisnis manufaktur chip dan menyerah pada ambisi menjadi pesaing TSMC.
Menariknya, laporan dari The Information awal bulan ini mengungkap bahwa Intel, dan TSMC telah mencapai kesepakatan awal untuk membentuk joint venture yang akan mengoperasikan fasilitas fabrikasi chip milik Intel — sinyal besar arah restrukturisasi Intel ke depan.